Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bolehkah Menyepakati Upah Di bawah Upah Minimum?

Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum?





















Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagaankerja (UU Ketenagakerjaan) dengan tegas melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Kesepakatan dalam suatu perjanjian, termasukperjanjian kerja, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, kesepakatan (konsensus) para pihak kausa-nya harus halal. Sehingga, memperjanjikan upah di bawah upah minimum antara pengusaha dengan pekerja adalah null and void atau batal demi hukum.

Membayar upah lebih rendah dari upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara bagi pengusaha paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.

Ini penjelasannya.

1.    Menurut Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum berdasarkan wilayah propinsi ataukabupaten kota (sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkansektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota(Upah Minimum Sektoral, UMS).


Larangan ini juga diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum(“Permenakertrans 7/2013”) serta Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum (“Kepmenaker 231/2003”) sebagai berikut:



Pasal 15 Permenakertrans 7/2013:
(1)  Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum yang telah ditetapkan.
(2)  Upah Minimum hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Pasal 2 Kepmenaker 231/2003:
(1)  Pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.
(2)  Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum.

2.    Larangan tersebut menyangkut beberapa aspek hukum, baik perdata maupun pidana, dan bahkan aspek hukum administrasi.
A.     Dari aspek hukum pidana, kesepakatan antarapekerja/buruh dengan pengusaha untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) sehingga pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum merupakan tindak pidana kejahatandengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.
B.    Dari aspek hukum perdata, kesepakatan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian kerja, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Atau dengan perkataan lain, kesepakatan (konsensus) para pihak kausa-nya harus halal.
Dengan demikian, memperjanjikan upah di bawah upah minimum adalah null and void atau batal demi hukum.
C.    Dari aspek hukum administrasi, apabila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum dan ada kesepakatan untuk membayar menyimpang/kurang dari ketentuan upah minimum, maka kesepakatan tersebut (antara pekerj/buruh dengan pengusaha) harus didasarkan atas persetujuan penangguhan dari pihak yang berwenang. Dengan kata lain, walau telah ada kesepakatan, apabila tidak/belum mendapat persetujuan, penangguhan tidak dapat diterapkan.
3.    Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka atas dasar kesepakatan saja (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) tidak cukup sebagai dasar untuk membayar upah menyimpang dari ketentuan upah minimum yang ditentukan. 
4.    Sekedar untuk dipahami, bahwa pada prinsipnya besaran upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur untuk suatu periode tertentu bukanlah merupakan dasar pembayaran upah untuk seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, akan tetapi hanyalah merupakan standar upah untuk pekerja/buruh tertentu, yakni:
a.    pada level jabatan atau pekerjaan terendah.
b.    masa kerja 0 tahun atau masa kerja tahun pertama dan/atau
c.    masih lajang.
Dengan demikian, bagi pekerja/buruh yang leveljabatannya lebih tinggi (di atas level jabatan yang terendah), masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dan/atau telah mempunyai tanggungan (tidak lagi lajang), maka besaran upahnya tentu bukan lagi standard upah minimum, akan tetapi harus disesuaikan berdasarkan struktur dan skala upah..

Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3.    Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan;
4.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum;
5.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Kebutuhan Hidup Layaksebagaimana telah dicabut sebagian oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak;
6.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum;
7.    Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah. 





1.    Menurut Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkanwilayah propinsi atau kabupaten kota (yang sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).

2.    Larangan tersebut, menyangkut beberapa aspek hukum, baik perdata maupun pidana, dan –bahkan- aspek hukum administrasi.
a.    Dari aspek hukum pidana, kesepakatan (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuanpenangguhan dari yang berwenang) merupakan pelanggaran tindak pidanakejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara antara 1 (satu) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun dan/atau denda antara Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
b.    Dari aspek hukum perdata, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan danPasal 1320 ayat 4 jo. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), bahwa kesepakatan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian kerja, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Atau dengan perkataan lain, kesepakatan (konsensus) para pihakcausa-nya harus halal, dalam arti suatu causaterlarang, apabila dilarang oleh undang-undang. Dengan demikian memperjanjikan upah di bawah upah minimum (UMR/UMS) adalah null and void, batal demi hukum (videPasal 52 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
c.    Dari aspek hukum administrasi, berdasarkanPasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 ayat (2) Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003 dan Pasal 2 ayat (3) Permenekartrans. No. Per-01/Men/I/2006, bahwa apabila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum dan ada –telah- kesepakatan untuk –membayar- menyimpang/kurang dari ketentuan upah minimum, maka kesepakatan tersebut (antara pekerj/buruh dengan pengusaha) harus didasarkan atas persetujuan penangguhan dari pihak yang berwenang (dalam hal ini Gubernur setempat). Dengan kata lain, walau telah ada kesepakatan, apabila tidak/belum mendapat persetujuan (penangguhan) tidak dapat diterapkan.

3.    Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dengan demikian, atas dasar kesepakatan saja (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) tidak cukup sebagai dasar untuk membayar upah menyimpang dari ketentuan upah minimum yang ditentukan. Hemat saya, upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan efisiensi dalam segala hal dengan meningkatkan produktivitas.

4.    Sekedar untuk dipahami, bahwa pada prinsipnya besaran upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur (UMR/UMS) untuk suatu periode tertentu bukanlah merupakan dasar pembayaran upah untuk seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, akan tetapi hanyalah merupakan standar upah untuk pekerja/buruh tertentu, yakni:
a.    pada level jabatan atau pekerjaan (job) terendah (vide Pasal 92 ayat [1] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 1 angka 2 Kepmenaker No. Kep-49/Men/IV/2003mengenai adanya struktur dan skala upah yang berjenjang);
b.    masa kerja 0 tahun atau masa kerja tahun pertama (vide Pasal 14 ayat [2] Permenaker Nomor Per-01/Men/1999); dan/atau
c.    masih lajang (vide Pasal 1 angka 1 Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012)

Dengan demikian, bagi pekerja/buruh yang leveljabatannya lebih tinggi (di atas job yang terendah), masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dan/atau telah mempunyai tanggungan (secara resmi), maka besaran upahnya tentu bukan lagi standard UMR/UMS, akan tetapi harus disesuaikan berdasarkan struktur dan skala upah (vide Pasal 1 angka 2 dan 3 Kepmenaker No. Kep-49/Men/IV/2003).










Post a Comment for "Bolehkah Menyepakati Upah Di bawah Upah Minimum?"

close